Masa Elizabeth dalam dunia sastra Inggris dikenal dengan sebutan the Golden Age (masa keemasan). Sastra mengalami puncak perkembangan pada awal masa pemerintahan Elizabeth. Pada masa Elizabeth semua keraguan nampaknya sirna dari sejarah masyarakat Inggris. Setelah masa pemerintahan Edward dan Mary, dengan kekalahan dan kehancuran moral diluar negeri dan kekerasan dan pembrontakan di dalam negeri, pergantian tampuk kekuasaan raja seperti sunrise after a long night.
Elizabeth dengan semua kesombongan dan ketidak konsistensiannya, secara perlahan mencintai Inggris dan kebesaran tanah Inggris; dan hal tersebut telah menginspirasi semua orang dengan patriotisme yang tak terbatas yang dibangga-banggakan dalam Shakespeare dalam karyanya Faery Queen.
Dibawah pemerintahannya, negara Inggris berkembang dengan lompatan yang lebih besar dibandingkan dengan sebelumnya dan sastra Inggris mencapai titik puncak perkembangannnya.Elizabeth dengan semua kesombongan dan ketidak konsistensiannya, secara perlahan mencintai Inggris dan kebesaran tanah Inggris; dan hal tersebut telah menginspirasi semua orang dengan patriotisme yang tak terbatas yang dibangga-banggakan dalam Shakespeare dalam karyanya Faery Queen.
KARAKTERISTI ZAMAN ELIZABETH
Karakteristik paling menonjol zaman ini adalah adanya toleransi dalam menjalan praktek kehidupan beragama, yang secara luas memang akibat pengaruh dari ratu Elizabeth. Di bawah kepemimpinannya, Elizabeth menemukan bahwa kerajaan terpecah-belah dengan sendirinya; penduduk bagian utara mayoritas beragama Katolik dan bagian selatan pemeluk Protestan yang fanatik. Skotlandia telah melaksanakan reformasi dengan caranya sendiri dan Irlandia tetap berpegang teguh pada tradisi agama kunonya serta kedua negara ini secara terbuka melakukan pembrontakan.
Sejak Reformasi dimulai, masalah fundamental tentang toleransi beragama yang mulai muncul, pemikiran manusia, bebas dari ketakutan dan tekanan dalam menjalankan praktek agama, berubah sejalan dengan keinginan kreatif satu sama lainnya ke dalam bentuk aktivitas lain. hal tersebut juga tidak dapat dipisahkan dari munculnya kebebasan pikiran yang dipengaruhi oleh masa pemerintahan Elizabeth yang juga memberikan stimulus pada bidang kesusasteraan.
Meningkatnya kekayaan, berkembangnya kehidupan, kesempatan luas bagi para pekerja dan kenyamanan kehidupan sosial – merupakan faktor-faktor yang membantu meningkatkan aktivitas kesusasteraan. Masa ini adalah an age of dreams, of adventure, of unbounded enthusiasm springing from the new land of fabulous riches yang didengungkan oleh para penjelajah Bangsa Inggris. Drake berlayar mengelilingi dunia, memberikan pendidikan kepada para generasi selanjutnya dalam mencari koloni baru selama berabad-abad. Filsuf muda Bacon dengan yakin menyatakan: ”I have taken all knowledge from my province”. Pikiran harus memandang lebih jauh daripada mata; dengan negara yang baru, kaya dan terbuka, imajinasi harus menciptakan bentuk-bentuk baru untuk orang-orang di dunia. Dream and deeds increase side by side, and the dream is ever greater than the deeds. Itulah sastra makna dari sastra menurut Bacon.
Zaman elizabeth adalah a time of intellectual liberty, of growing intelligence and comfort among all classes, and of peace at home and broad. Karena begitu besarnya pemikiran dan tindakan, dihubungkan dengan mata dan juga imajinasi serta intelektual, maka ditemukan suatu ungkapan sastra yang berbunyi; neither poetry nor the story can express the whole man, - his thought, feeling, action and the resulting character. Pada masa Elizabeth, Drama dalam perkembangannya mencapai puncak keemasannya.
PUJANGGA-PUJANGGA NON DRAMATIK ZAMAN ELIZABETH
Edmund Spencer (1552-1609)
Sebagai pelajar yang miskin, Spencer mengerti bagaimana ia menciptakan sesuatu untuk dirinya sendiri; dia banyak membaca karya-karya klasik, melakukan kontak dengan penyair-penyair Italia dan menulis sendiri puisi yang jumlahnya tak terhitung. Walaupun Chaucer adalah guru besarnya, ambisinya bukanlah untuk menandingi Canterbury Tales, tetapi lebih pada keinginan untuk mengungkapkan mimpi-mimpi besar orang Inggris. Melankoli atas hilangnya Rosalind (kekasihnya) tercermin dalam karyanya the Shepherd’s Calendar (puisi dan riwayat singkat spencer dapat dilihat pada lampiran).
Pujangga-pujangga Metafisikal
Masa selanjutnya, yang dikenal dengan sebutan the Jacobean Age, menawarkan sesuatu yang sedikit lebih fresh, lebih tertarik pada sesuatu yang ada dalam pikiran daripada yang ada dalam hati dan pandangan mata. Sekelompok pujangga, dikenal dengan sebutan the metaphysical Poets, menulis verse (puisi bebas) yang pada umumnya tidak begitu menghiraukan keindahan bahasa dan keserasian nada, puisi tersebut juga berisi gaya-gaya dan gambaran-gambaran yang tidak biasa untuk menarik perhatian. Pujangga-pujangga ini menggabungkan kekuatan perasaan dengan penalaran, dan penggabungannya adalah kekuatan karya mereka.
John Donne merupakan pujangga metafisikal terbesar tetapi sulit menemukan karya-karyanya secara utuh. Dia menulis banyak hal bagus tetapi tidak disempurnakan atau diselesaikan. Karya-karya terbaik Donne dalam bentuk nyanyian dan sonet. Berikut salah satu tulisan Donne:
Here lies a she sun an a he moon there
She gives the best light to his sphere
Or each is both, and all, and so
They unto one another nothing love
Pujangga metafisikal selanjutnya adalah Francis Bacon. Beberapa essays-nya masih terkenal hingga saat ini. Karya pertamanya muncul pada tahun 1597 dan kemudian dengan beberapa penambahan pada tahun 1612 dan 1625. Kalimat-kalimat yang digunakan dalam karya awalnya adalah pendek, tajam dan efektif; gaya yang digunakan pada essay selanjutnya lebih berkembang. Beberapa kata bijak yang terkenal di Inggris berasal dari buku Bacon, khususnya dari essay-nya:
Men fear death as children fear go to in the dark (death)
All colors will agree in the dark (unity in relegion)
Revenge is a kind of wild justice (revenge)
If a man be gracious to strangers, it shows he is citizen of the world (Goodness)
The remedy is worse than the disease (troubles)
Stay a little, that we may make an end the sooner (despacth)
Cure the disease and kill the patient (friendship)
Some books are to be read only in a parts; others to be read, but not curiously; and some few to be read wholly (studies)
A wise man will make more opportunities than he finds.
PUJANGGA-PUJANGGA DRAMA
Christopher Marlowe (1564-1593)
Nama terbesar dalam drama sebelum Shakespeare adalah Christopher Marlowe, anak seorang tukang sepatu, lahir beberapa bulan sebelum Shakespeare di Canterbury, wilayah (county) Kent. Dengan bantuan temannya yang memiliki pengaruh ia sekolah di Corpus Christi College, Cambridge dan lulus pada tahun 1583. empat tahun kemudian, pada awal usia 23 tahun, drama pertamanya muncul di London. Selama enam tahun antara drama ini dengan kematiannya, Marlowe menulis lebih dari enam karya drama, beberapa lyric, dan naratif cinta dalam bentuk puisi bebas. Sebagaimana layaknya kehidupan profesi seperti Marlowe pada saat itu, hidupnya mengarah pada kehidupan yang bebas dan liar, dan kematiannya pada tahun 1593 akibat dari perkelahiannya di sebuah bar malam.
Empat dari karya Marlowe, oleh para kritik sastra, ditempatkan pada posisi penting dalam sejarah karya sastra drama di Inggris – Tamburlaine, Doctor Faustus, the Jew of Malta dan Edward II. Tamburlaine menginspirasikan Inggris untuk menguasai dunia. Ambisi dokter Faustus adalah ilmu pengetahuan dimana ia merelakan diri menjual nyawanya kepada setan. Barabas the Jew, prototype of Shylock, menceritakan nafsu akan kekayaan dan melakukan kejahatan untuk melaksnakan nafsu tersebut.
MIRACLE PLAYS
Kemegahan zaman Elizabeth dan juga kejayaan Sastra Inggris secara keseluruhan adalah sastra drama. Asal mula drama berasal dari gereja. Dalam sebuah drama yang dinamakan Noah’s Flood, diperkenalkan sebuah insiden dimana Istri Nabi Nuh menolak akan datangnya banjir besar dan menolak masuk ke dalam kapal. Ketika usahanya membujuk gagal, Nabi Nuh dengan cara keras memaksa istrinya untuk memasuki kapal. Drama jenis ini dinamakan Miracle Plays atau Mistery Plays. Drama ini menggunakan moving stage atau pageant car, sehingga drama bisa dimainkan berpindah-pindah tempat antar kota.
MORALITY PLAYS
Ketika Miracle Plays terlepas kontrolnya dari gereja, proses sekulerisasi berlanjut. Dalam Drama Moraliti (Morality Play), tokoh-tokoh pemeran dipersonifikasikan secara abstrak mewakili nilai-nilai kebaikan dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya (virtues and vices), dan kualitas pikiran manusia. Dalam moralitas setiap manusia, sebagai contoh, beberapa karakter yang ada seperti kematian (death), persahabatan (fellowship), pengetahuan (knowledge), keinginan yang baik (good deeds), dan kedewasaan (discretion). Karakter populer yang ditemukan dalam morality plays adalah nilai-nilai kebaikan dan kejahatan.
INTERLUDE
Miracle Plays dan Morality Plays berjalan berdampingan sampai pada akhir abad ke-16. Bentuk ketiga dari drama hiburan yang muncul di luar Morality Plays adalah Interlude, suatu babak yang muncul diantara beberapa penampilan drama yang panjang. Secara kasar dapat dikatakan Miracle Play furnished the plot-ancestry of the drama, the Morality Play furnished the character-ancestry, so the Interlude furnished the dialogue ancestry.
Secara umum, Interlude memiliki sedikit plot, sedikit tokoh atau karakter; tujuan penulis adalah menulis dialog sepandai-pandainya – to write talk purely for talk’s sake. Salah satu Interlude yang terkenal di zaman ini adalah the Four P’s oleh John Heywood. Berikut adalah kutipan dialog dari the Four P’s:
Yet in all places where I have been,
Of all the women that I have seen,
I never saw nor knew, in my conscience,
Any one woman out of patience.
TEATER PERTAMA
Interlude, dan jenis drama terdahulu tidak ditampilkan di atas pageant wagons sampai pada tahun 1576 mereka diberi pekarangan atau halaman atau gedung tempat mereka mengadakan pementasan. Gedung pertunjukkan pertama di bangun di London dan diberi nama The Theatre. Setelah Shakespeare meningglakan London tiga pulu tahun kemudian, terdapat sekitar sepuluh atau dua belas gedung pertunjukkan, dua diantaranya adalah the Globe dan the Blackfriars - pemiliknya adalah seorang dramatis.
Gedung pertunujukkan pada saat itu tidak memiliki atap kecuali pada panggung dan balkoninya. Tidak ada tempat duduk dan semua penonton berdiri kecuali bagi yang membawa kotak atau sebuah bangku.
Kelas masyarakat yang lebih tinggi duduk di balkoni melebar di tiga sisi panggung, walaupun ada beberapa pemuda dari masyarakat biasa yang duduk di balkoni, mereka harus membayar lebih. Panggung juga menggunakan layar penutup panggung seperti sekarang ini. Dibagian belakang panggung juga diberikan panggung lebih yang digunakan sebagai Juliet’s Balcony sebagai tembok-tembok kota, atau sebagai bukit-bukit yang nampak jauh terlihat.
Kostum aktor, walaupun sering di elaborasi, tetapi tidak merubah penampilan aktor sesuai dengan karakter. Sangat sedikit scenery yang digunakan; sebuah tempat tidur, meja atau beberapa pohon yang mengekspresikan sebuah tempat. Karena tidak ada peralatan lighting, penampilan drama dilaksanakan sore hari. Sebuah bendera ditempatkan di atas gedung menandakan adanya pertunjukkan drama di gedung tersebut; tetapi seseorang harus benar-benar mendekat untuk mengetahui drama apa yang akan ditampilkan.
Yang paling mengejutkan adalah hanya ada sedikit wanita yang terlibat dalam pementasan drama pada masa Elizabeth. Wanita terhormat yang ada di penonton menggunakan topeng dan tidak ada wanita di atas panggung. Peran wanita dalam drama diambil alih oleh laki-laki sampai pada pertengahan abad ke-17.
No comments:
Post a Comment