Wednesday, April 4, 2012

Pembangunan Berbasis Masyarakat 

Pembangunan yang berbasis masyarakat yang menempatkan posisi masyarakat sebagai aktor/manajer pembangunan dan hanya sedikit melibatkan intervensi pihak lain seperti LSM maupun pemerintah (http//en.wikipedia.org). Sumbangan pembangunan berbasis masyarakat dalam pembangunan berkelanjutan
diantaranya: 1) Meningkatkan kapasitas lokal, program pelatihan/transfer tekonologi, 2) Program pemeliharaan fasilitas umum termasuk pemeliharaan prasarana jaringan air minum pedesaan, dan 3) Masyarakat dapat menyampaikan aspirasi kepada pemerintah mengenai program‐program apa yang dibutuhkan dan bersifat krusial bagi masyarakat lokal. 


Karakteristik prasarana merupakan kondisi dan kinerja prasarana untuk dapat mendukung aktifitas masyarakat. Prasarana yang secara teknis sederhana misalnya pasca pembangunan jaringan perpipaan air minum pedesaan yang dapat dikelola dan dibiayai oleh komunitas masyarakat sendiri. Masyarakat akan berperan serta untuk memelihara dan mengelola prasarana yang telah dibangun bila mereka mendapat mamfaat langsung dari prasarana tersebut atau berhubungan dengan kinerja prasarana. (Ndraha, 1990:105)  Prasarana lingkungan yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat akan memberikan pengaruh positip pada manfaat yang langsung dirasakan oleh masyarakat. Hal ini dapat merangsang tumbuhnya rasa ikut memiliki yang pada akhirnya akan tumbuh kesadaran untuk memelihara, mengelola dan mengembangkan
hasil‐hasil pembangunan berupa perbaikan/ pemeliharaan (Yudhohusodo dkk, 1991:148).
Menurut Chouguill, 1996 memberikan pendekatan berupa prinsip‐prinsip yang harus diperhatikan dalampengelolaan prasarana, yang disarikan dari kajian teoritis dan pengalaman beberapa negara. Dalam perdekatannya adanya keterkaitan antara peran atau intervensi pemerintah, khususnya pemerintah lokal dengan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan prasarana. Hal ini menguatkan konsep keberlanjutan yang tidak bisa melepaskan pendekatan partisipasi masyarakat di dalamnya dengan bantuan pemerintah dan pihak ketiga (fasilitator). Adapun prinsip‐prinsip yang diutarakan oleh Chougill ada sepuluh yaitu : 1) Harus disadari bahwa dalam pengelolaan prasarana terdapat dua sektor yakni formal dan non formal, 2) Bahwa dalam pengelolaan prasarana memerlukan teknologi yang mampu dioperasionalisasikan oleh pengelolanya sendiri (masyarakat) dan menggunakan prinsip cost recovery, 3) Status tanah menjadi masalah yang harus bisa diselesaikan dengan supaya tidak memberikan dampak yang merugikan terhadap sistem perkotaan, 4) Prasarana informal harus didesain dan dibangun dengan bantuan teknis dari luar sehingga dapat disatukan dalam sistem perkotaan, yang harus disadari memerlukan waktu yang lama, 5) Pengelolaan prasarana dan sarana harus melibatkan seluruh lapisan masyarakat dalam setiap tahapan pembangunan mulai dari perencanaan, pembangunan, operasional serta pemeliharaan. Keterlibatan pemerintah dan pihak ketiga (fasilitator) hanya sebagai supporter bukan lagi sebagai pemilik dan manager dari suatu kegiatan pembangunan, 6) Teknologi yang dipilih harus mampu dioperasionalkan dan dipelihara sendiri oleh masyarakat, 7) Prasarana harus mampu melayani pengguna dengan tingkatan pendapatan yang rendah (miskin), 8) Prasarana yang dibangun harus diterima secara sosial oleh masyarakat lokal/setempat, 9) Peningkatan peran pemerintah sebagai enabler dan fasilitator dalam pembangunan prasarana diperlukan untuk mencapai cakupan layanan prasarana yang lebih luas, dan 10) Organisasi non pemerintah (LSM) dapat lebih berperan/terlibat dalam membantu pemberdayaan masyarakat sehingga implementasi pembangunan berbasis partisipasi lebih diterima sebagai pendekatan pembangunan terkini.
Keberhasilan pelaksanaan program pembangunan, khususnya pembangunan prasarana dasar dengan pendekatan partisipatif ditentukan oleh beberapa faktor. Faktor yang utama tentu saja adalah faktor komponen masyarakat sendiri, faktor lain yang berpengaruh adalah keterlibatan pihak ketiga sebagai fasilitator (pendamping). Untuk itu diperlukan peran fasilitator dalam upaya pemberdayaan sehingga masyarakat mampu merumuskan masalah, membuat rencana, serta mengorganisasikan komunitasnya untuk memperbaiki kondisi sosial, ekonomi, dan kebudayaan dengan mengintegrasikan segenap sumber daya yang dimilikinya. Selain faktor tersebut mekanisme pelaksanaan program juga sangat menentukan keberhasilan dan keberlanjutan dari program pembangunan yang dilakukan dengan pendekatan partisipatif. Sesuai dengan pengertian pengelolaan oleh masyarakat sebagai bagian siklus pembangunan partisipatif, maka masyarakat harus mampu memberikan pengaruh yang kuat serta mengontrol dalam mekanisme pelaksanaan pembangunan. Untuk itu adanya pilihan teknologi dan tingkat layanan yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masyarakat menjadi prasyarat utama dalam keberlanjutannya. Hal ini bisa diterjemahkan juga sebagai faktor karakteristik program/proyek yang dilaksanakan. Prasarana yang bersifat sederhana dalam hal teknis perencanaan dan penanganannnya serta dalam skala kecil dapat dikembangkan oleh organisasi masyarakat lokal (Lanti dalam Sigh,et.al, 1997:100). Karakteristik prasarana menentukan kondisi dan kinerja prasarana untuk mendukung aktifitas kehidupan masyarakat. Masyarakat pada akhirnya akan berperan serta dalam memelihara dan mengelola prasarana yang telah dibangun bila masyarakat tadi mendapat manfaat langsung dari prasarana dimaksud, yang mana dalam hal ini berhubungan dengan kinerjanya (Ndara, 1990:105). Untuk mengetahui sejauh mana peran partisipasi masyarakat dalam mencapai tujuan bersama yang diinginkan diperlukan suatu tolok ukur/tingkatan efektifitas dari partisipasi itu sendiri. Efektifitas menurut Drucker, 1974 (dalam Elmi Kurniarto W, 2007:33) yaitu suatu tingkatan yang sesuai antara keluaran empiris suatu sistem dengan keluaran (output) yang diharapkan. Dengan mengetahui tingkatan partisipasi masyrakat dalam pembangunan maka akan diketahui sejauh mana peran masyarakat dalam melakukan kontrol dan seberapa besar pengaruh intervensi pemerintah dalam pendekatan pembangunan yang dilaksanakan.
Menurut Loekman Soetrisno, 1995:26 Kanisius Menuju Masyarakat Partisipatif, bahwa kecenderungan pembangunan nasional yang menjadikan salah satu prasyarat utama yaitu dengan partisipasi masyarakat. Kemauan pemerintah dalam memahami pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan merupakan suatu langkah maju, akan tetapi dalam aplikasi dilapangan masih cukup banyak ditemukan permasalahan maupun hambatan yaitu:
1. Hambatan pertama, belum dipahaminya makna sebenarnya dari konsep partisipasi oleh pihak perencana dan pelaksana pembangunan. Defenisi partisipasi yang berlaku di kalangan pihak perencana dan pelaksana pembangunan adalah kemauan rakyat untuk mendukung secara mutlak program‐program pemerintah yang dirancang dan ditentukan tujuannya oleh pemerintah. Kenyataannya para perencana dan pelaksana menggunakan konsep hierarkis dalam menyeleksi proyek pembangunan di pedesaan, sehingga proyek proyek pedesaan yang berasal dari pemerintah diistilahkan sebagai proyek pembangunan yang dibutuhkan oleh rakyat, sedangkan proyek yang diusulkan masyarakat desa dianggap sebagai keinginan. Karena merupakan suatu kebutuhan maka proyek pemerintah tersebut harus dilaksanakan, sedangkan proyek yang diusulkan oleh masyarakat hanya berupa keinginan maka proyek itu pun memperoleh prioritas yang rendah.
2. Hambatan kedua, reaksi balik yang datang dari masyarakat sebagai akibat dari diperlakukannya pembangunan sebagai ideologi baru di negara kita. Sebagai ideologi maka pembangunan harus diamankan dan dijaga dengan ketat. Persepsi seperti ini mendukung asumsi bahwa subsistem adalah suatu subordinate dari suprasistem dan membuat subsistem menjadi bagian yang benar‐benar pasif. Pengamanan yang ketat terhadap pembangunan menimbulkan reaksi balik dari masyarakat yang merugikan usaha membangkitkan kemauan rakyat untuk berpartisipasi dalam pembangunan. 

Dari kedua hambatan diatas, maka diharapkan kesimpulan yaitu: 1) Bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah kerjasama antara masyarakat dengan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, dan membiayai pembangunan, 2) Untuk mengembangkan dan melembagakan partisipasi rakyat dalam pembangunan harus diciptakan suatu perubahan dalam persepsi pemerintah terhadap pembangunan. Pembangunan haruslah dianggap sebagai suatu kewajiban moral dari seluruh bangsa ini, bukan suatu ideologi baru yang harus diamankan, dan 3) Untuk membangkitkan partisipasi rakyat dalam pembangunan diperlukansikap toleransi dari aparat pemerintah terhadap kritik, pikiran alternatif yang muncul dalam masyarakat sebagai akibat dari dinamika pembangunan itu sendiri, karena kritik dan pikiran alternatif itu sendiri merupakan suatu bentuk partisipasi rakyat dalam pembangunan.

1 comment: