Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Tujuan pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Oleh karena itu, rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa. Untuk mendapatkan wawasan mengenai arti pendidikan budaya dan karakter bangsa, perlu dikemukakan pengertian istilah budaya, karakter bangsa, dan pendidikan. Pengertian yang dikemukakan di sini dikemukakan secara teknis dan digunakan dalam mengembangkan pedoman ini. Guru-guru Antropologi, Pendidikan Kewarganegaraan, dan mata pelajaran lain, yang istilah-istilah itu menjadi pokok bahasan dalam mata pelajaran terkait, tetap memiliki kebebasan sepenuhnya membahas dan berargumentasimmengenai istilah-istilah tersebut secara akademik. Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. Sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan itu adalah hasil dari interaksi manusia dengan sesamanya dan lingkungan alamnya. Sistem berpikir, nilai, moral, norma dan keyakinan itu digunakan dalam kehidupan manusia dan menghasilkan sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, sistem pengetahuan, teknologi, seni, dan sebagainya. Manusia sebagai makhluk sosial menjadi penghasil sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan; akan tetapi juga dalam interaksi dengan sesama manusia dan alam kehidupan, manusia diatur oleh sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan yang telah dihasilkannya (Kemendiknas, 2010).
Ketika kehidupan manusia terus berkembang, maka yang berkembang sesungguhnya adalah sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, ilmu, teknologi, serta seni. Pendidikan merupakan upaya terencana dalam mengembangkan potensi peserta didik, sehingga mereka memiliki sistem berpikir, nilai, moral, dan keyakinan yang diwariskan masyarakatnya dan mengembangkan warisan tersebut ke arah yang sesuai untuk kehidupan masa kini dan masa mendatang.
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter bangsa. Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter individu seseorang.
Akan tetapi, karena manusia hidup dalam ligkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang berangkutan. Artinya, pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan eserta didik dari lingkungan sosial,budaya masyarakat, dan budaya bangsa. Lingkungan sosial dan budaya bangsa adalah Pancasila; jadi pendidikan budaya dan karakter bangsa haruslah berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Dengan kata lain, mendidik budaya dan karakter bangsa adalah mengembangkan nilai-nilai Pancasila pada diri peserta didik melalui pendidikan hati, otak, dan fisik (Kemendiknas, 2010)
Pendidikan adalah suatu usaha yang sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi peserta didik. Pendidikan adalah juga suatu usaha masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasi mudanya bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik di masa depan. Keberlangsungan itu ditandai oleh pewarisan budaya dan karakter yang telah dimiliki masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu, pendidikan adalah proses pewarisan budaya dan karakter bangsa bagi generasi muda dan juga proses pengembangan budaya dan karakter bangsa untuk peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dan bangsa di masa mendatang.
Dalam proses pendidikan budaya dan karakter bangsa, secara aktif peserta didik mengembangkan potensi dirinya, melakukan proses internalisasi, dan penghayatan nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul di masyarakat, mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, serta mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat.
2. Fungsi Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Fungsi pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah pengembangan: pengembangan potensi peserta didik untuk menjadi pribadi berperilaku baik; ini bagi peserta didik yang telah memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan budaya dan karakter bangsa; perbaikan: memperkuat kiprah pendidikan nasional untuk bertanggung jawab dalam pengembangan potensi peserta didik yang lebih bermartabat; dan penyaring: untuk menyaring budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat (Kemendiknas, 2010).
3. Tujuan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Tujuan pendidikan budaya dan karakter bangsa yaitu mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa; mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius; menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa; mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan; dan mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity).
4. Nilai-nilai dalam Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa diidentifikasi dari sumber-sumber berikut ini, yaitu agama, masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh karena itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaannya. Secara politis, kehidupan kenegaraan pun didasari pada nilai-nilai yang berasal dari agama. Atas dasar pertimbangan itu, maka nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama. Pancasila, negara kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Pancasila terdapat pada Pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya, dan seni. Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang lebih baik, yaitu warga negara yang memiliki kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara. Budaya, sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antaranggota masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa. Tujuan Pendidikan Nasional, sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki setiap warga negara Indonesia, dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan di berbagai jenjang dan jalur. Tujuan pendidikan nasional memuat berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki warga negara Indonesia. Oleh karena itu, tujuan pendidikan nasional adalah sumber yang paling operasional dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa (Kemendiknas, 2010).
5. Pendidikan Karakter
Berbicara pembentukan kepribadian tidak lepas dengan bagaimana kita membentuk karakter SDM. Pembentukan karakter SDM menjadi vital dan tidak ada pilihan lagi untuk mewujudkan Indonesia baru, yaitu Indonesia yang dapat menghadapi tantangan regional dan global (Muchlas dalam Sairin, 2001: 211). Tantangan regional dan global yang dimaksud adalah bagaimana generasi muda kita tidak sekedar memiliki kemampuan kognitif saja, tapi aspek afektif dan moralitas juga tersentuh. Untuk itu, pendidikan karakter diperlukan untuk mencapai manusia yang memiliki integritas nilai-nilai moral sehingga anak menjadi hormat sesama, jujur dan peduli dengan lingkungan.
Lickona (1992) menjelaskan beberapa alasan perlunya Pendidikan karakter, di antaranya: (1) banyaknya generasi muda saling melukai karena lemahnya kesadaran pada nilai-nilai moral, (2) memberikan nilai-nilai moral pada generasi muda merupakan salah satu fungsi peradaban yang paling utama, (3) peran sekolah sebagai pendidik karakter menjadi semakin penting ketika banyak anak-anak memperoleh sedikit pengajaran moral dari orangtua, masyarakat, atau lembaga keagamaan, (4) masih adanya nilai-nilai moral yang secara universal masih diterima seperti perhatian, kepercayaan, rasa hormat, dan tanggungjawab, (5) demokrasi memiliki kebutuhan khusus untuk pendidikan moral karena demokrasi merupakan peraturan dari, untuk dan oleh masyarakat, (6) tidak ada sesuatu sebagai pendidikan bebas nilai. Sekolah mengajarkan pendidikan bebas nilai. Sekolah mengajarkan nilai-nilai setiap hari melalui desain ataupun tanpa desain, (7) komitmen pada pendidikan karakter penting manakala kita mau dan terus menjadi guru yang baik, dan (8) pendidikan karakter yang efektif membuat sekolah lebih beradab, peduli pada masyarakat, dan mengacu pada performansi akademik yang meningkat.
Alasan-alasan di atas menunjukkan bahwa pendidikan karakter sangat perlu ditanamkan sedini mungkin untuk mengantisipasi persoalan di masa depan yang semakin kompleks seperti semakin rendahnya perhatian dan kepedulian anak terhadap lingkungan sekitar, tidak memiliki tanggungjawab, rendahnya kepercayaan diri, dan lain-lain. Untuk mengetahui lebih jauh tentang apa yang dimaksud dengan pendidikan karakter, Lickona dalam Elkind dan Sweet (2004) menggagas pandangan bahwa pendidikan karakter adalah upaya terencana untuk membantu orang untuk memahami, peduli, dan bertindak atas nilai-nilai etika/ moral. Pendidikan karakter ini mengajarkan kebiasaan berpikir dan berbuat yang membantu orang hidup dan bekerja bersama-sama sebagai keluarga, teman, tetangga, masyarakat, dan bangsa.
Pandangan ini mengilustrasikan bahwa proses pendidikan yang ada di pendidikan formal, non formal dan informal harus mengajarkan peserta didik atau anak untuk saling peduli dan membantu dengan penuh keakraban tanpa diskriminasi karena didasarkan dengan nilai-nilai moral dan persahabatan. Di sini nampak bahwa peran pendidik dan tokoh panutan sangat membantu membentuk karakter peserta didik atau anak.
6. Implementasi Pendidikan Karakter
Upaya untuk mengimplementasikan pendidikan karakter adalah melalui Pendekatan Holistik, yaitu mengintegrasikan perkembangan karakter ke dalam setiap aspek kehidupan sekolah. Ciri-ciri pendekatan holistic (Elkind dan Sweet, 2005) yaitu segala sesuatu di sekolah diatur berdasarkan perkembangan hubungan antara siswa, guru, dan masyarakat; sekolah merupakan masyarakat peserta didik yang peduli di mana ada ikatan yang jelas yang menghubungkan siswa, guru, dan sekolah; pembelajaran emosional dan sosial setara dengan pembelajaran akademik; kerjasama dan kolaborasi di antara siswa menjadi hal yang lebih utama dibandingkan persaingan; nilai-nilai seperti keadilan, rasa hormat, dan kejujuran menjadi bagian pembelajaran sehari-hari baik di dalam maupun di luar kelas; siswa-siswa diberikan banyak kesempatan untuk mempraktekkan prilaku moralnya melalui kegiatan-kegiatan seperti pembelajaran memberikan pelayanan; disiplin dan pengelolaan kelas menjadi fokus dalam memecahkan masalah dibandingkan hadiah dan hukuman dan model pembelajaran yang berpusat pada guru harus ditinggalkan dan beralih ke kelas demokrasi di mana guru dan siswa berkumpul untuk membangun kesatuan, norma, dan memecahkan masalah
Sementara itu peran lembaga pendidikan atau sekolah dalam mengimplementasikan pendidikan karakter mencakup (1) mengumpulkan guru, orangtua dan siswa bersama-sama mengidentifikasi dan mendefinisikan unsur-unsur karakter yang mereka ingin tekankan, (2) memberikan pelatihan bagi guru tentang bagaimana mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam kehidupan dan budaya sekolah, (3) menjalin kerjasama dengan orangtua dan masyarakat agar siswa dapat mendengar bahwa prilaku karakter itu penting untuk keberhasilan di sekolah dan di kehidupannya, dan (4) memberikan kesempatan kepada kepala sekolah, guru, orangtua dan masyarakat untuk menjadi model prilaku sosial dan moral (US Department of Education).
Mengacu pada konsep pendekatan holistik dan dilanjutkan dengan upaya yang dilakukan lembaga pendidikan, kita perlu meyakini bahwa proses pendidikan karakter tersebut harus dilakukan secara berkelanjutan (continually) sehingga nilai-nilai moral yang telah tertanam dalam pribadi anak tidak hanya sampai pada tingkatan pendidikan tertentu atau hanya muncul di lingkungan keluarga atau masyarakat saja. Selain itu praktik-praktik moral yang dibawa anak tidak terkesan bersifat formalitas, namun benar-benar tertanam dalam jiwa anak.
7. Peran Pendidik dalam Membentuk Karakter SDM
Pendidik itu bisa guru, orangtua atau siapa saja, yang penting ia memiliki kepentingan untuk membentuk pribadi peserta didik atau anak. Peran pendidik pada intinya adalah sebagai masyarakat yang belajar dan bermoral. Lickona, Schaps, dan Lewis (2007) serta Azra (2006) menguraikan beberapa pemikiran tentang peran pendidik, di antaranya (1) pendidik perlu terlibat dalam proses pembelajaran, diskusi, dan mengambil inisiatif sebagai upaya membangun pendidikan karakter; (2) pendidik bertanggungjawab untuk menjadi model yang memiliki nilai-nilai moral dan memanfaatkan kesempatan untuk mempengaruhi siswa-siswanya. Artinya pendidik di lingkungan sekolah hendaklah mampu menjadi “uswah hasanah” yang hidup bagi setiap peserta didik. Mereka juga harus terbuka dan siap untuk mendiskusikan dengan peserta didik tentang berbagai nilai-nilai yang baik tersebut; (3) pendidik perlu memberikan pemahaman bahwa karakter siswa tumbuh melalui kerjasama dan berpartisipasi dalam mengambil keputusan; (4) pendidik perlu melakukan refleksi atas masalah moral berupa pertanyaan-pertanyaan rutin untuk memastikan bahwa siswa-siswanya mengalami perkembangan karakter dan (5) pendidik perlu menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada peserta didik secara terus menerus tentang berbagai nilai yang baik dan yang buruk.
Hal-hal lain yang pendidik dapat lakukan dalam implementasi pendidikan karakter (Djalil dan Megawangi, 2006) adalah pendidik perlu menerapkan metode pembelajaran yang melibatkan partisipatif aktif siswa; pendidik perlu menciptakan lingkungan belajar yang kondusif,; pendidik perlu memberikan pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis, dan berkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good, loving the good, and acting the good, dan pendidik perlu memperhatikan keunikan siswa masing-masing dalam menggunakan metode pembelajaran, yaitu menerapkan kurikulum yang melibatkan 9 aspek kecerdasan manusia. Agustian (2007) menambahkan bahwa pendidik perlu melatih dan membentuk karakter anak melalui pengulangan-pengulangan sehingga terjadi internalisasi karakter, misalnya mengajak siswanya melakukan shalat secara konsisten.
Dalam pendidikan formal dan non formal, pendidik harus terlibat dalam proses pembelajaran, yaitu melakukan interaksi dengan siswa dalam mendiskusikan materi pembelajaran; harus menjadi contoh tauladan kepada siswanya dalam berprilaku dan bercakap; harus mampu mendorong siswa aktif dalam pembelajaran melalui penggunaan metode pembelajaran yang variatif; harus mampu mendorong dan membuat perubahan sehingga kepribadian, kemampuan dan keinginan guru dapat menciptakan hubungan yang saling menghormati dan bersahabat dengan siswanya; harus mampu membantu dan mengembangkan emosi dan kepekaan sosial siswa agar siswa menjadi lebih bertakwa, menghargai ciptaan lain, mengembangkan keindahan dan belajar soft skills yang berguna bagi kehidupan siswa selanjutnya, dan harus menunjukkan rasa kecintaan kepada siswa sehingga guru dalam membimbing siswa yang sulit tidak mudah putus asa.
Sementara dalam pendidikan informal seperti keluarga dan lingkungan, pendidik atau orangtua/tokoh masyarakat harus menunjukkan nilai-nilai moralitas bagi anak-anaknya; harus memiliki kedekatan emosional kepada anak dengan menunjukkan rasa kasih saying; harus memberikan lingkungan atau suasana yang kondusif bagi pengembangan karakter anak, dan perlu mengajak anak-anaknya untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah, misalnya dengan beribadah secara rutin. Berangkat dengan upaya-upaya yang pendidik lakukan sebagaimana disebut di atas, diharapkan akan tumbuh dan berkembang karakter kepribadian yang memiliki kemampuan unggul di antaranya karakter mandiri dan unggul, komitmen pada kemandirian dan kebebasan, konflik bukan potensi laten, melainkan situasi monumental dan lokal, signifikansi Bhinneka Tunggal Ika, dan mencegah agar stratifikasi sosial identik dengan perbedaan etnik dan agama (Jalal dan Supriadi, 2001: 49-50).
Tujuan pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Oleh karena itu, rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa. Untuk mendapatkan wawasan mengenai arti pendidikan budaya dan karakter bangsa, perlu dikemukakan pengertian istilah budaya, karakter bangsa, dan pendidikan. Pengertian yang dikemukakan di sini dikemukakan secara teknis dan digunakan dalam mengembangkan pedoman ini. Guru-guru Antropologi, Pendidikan Kewarganegaraan, dan mata pelajaran lain, yang istilah-istilah itu menjadi pokok bahasan dalam mata pelajaran terkait, tetap memiliki kebebasan sepenuhnya membahas dan berargumentasimmengenai istilah-istilah tersebut secara akademik. Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. Sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan itu adalah hasil dari interaksi manusia dengan sesamanya dan lingkungan alamnya. Sistem berpikir, nilai, moral, norma dan keyakinan itu digunakan dalam kehidupan manusia dan menghasilkan sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, sistem pengetahuan, teknologi, seni, dan sebagainya. Manusia sebagai makhluk sosial menjadi penghasil sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan; akan tetapi juga dalam interaksi dengan sesama manusia dan alam kehidupan, manusia diatur oleh sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan yang telah dihasilkannya (Kemendiknas, 2010).
Ketika kehidupan manusia terus berkembang, maka yang berkembang sesungguhnya adalah sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, ilmu, teknologi, serta seni. Pendidikan merupakan upaya terencana dalam mengembangkan potensi peserta didik, sehingga mereka memiliki sistem berpikir, nilai, moral, dan keyakinan yang diwariskan masyarakatnya dan mengembangkan warisan tersebut ke arah yang sesuai untuk kehidupan masa kini dan masa mendatang.
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter bangsa. Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter individu seseorang.
Akan tetapi, karena manusia hidup dalam ligkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang berangkutan. Artinya, pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan eserta didik dari lingkungan sosial,budaya masyarakat, dan budaya bangsa. Lingkungan sosial dan budaya bangsa adalah Pancasila; jadi pendidikan budaya dan karakter bangsa haruslah berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Dengan kata lain, mendidik budaya dan karakter bangsa adalah mengembangkan nilai-nilai Pancasila pada diri peserta didik melalui pendidikan hati, otak, dan fisik (Kemendiknas, 2010)
Pendidikan adalah suatu usaha yang sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi peserta didik. Pendidikan adalah juga suatu usaha masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasi mudanya bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik di masa depan. Keberlangsungan itu ditandai oleh pewarisan budaya dan karakter yang telah dimiliki masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu, pendidikan adalah proses pewarisan budaya dan karakter bangsa bagi generasi muda dan juga proses pengembangan budaya dan karakter bangsa untuk peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dan bangsa di masa mendatang.
Dalam proses pendidikan budaya dan karakter bangsa, secara aktif peserta didik mengembangkan potensi dirinya, melakukan proses internalisasi, dan penghayatan nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul di masyarakat, mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, serta mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat.
2. Fungsi Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Fungsi pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah pengembangan: pengembangan potensi peserta didik untuk menjadi pribadi berperilaku baik; ini bagi peserta didik yang telah memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan budaya dan karakter bangsa; perbaikan: memperkuat kiprah pendidikan nasional untuk bertanggung jawab dalam pengembangan potensi peserta didik yang lebih bermartabat; dan penyaring: untuk menyaring budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat (Kemendiknas, 2010).
3. Tujuan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Tujuan pendidikan budaya dan karakter bangsa yaitu mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa; mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius; menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa; mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan; dan mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity).
4. Nilai-nilai dalam Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa diidentifikasi dari sumber-sumber berikut ini, yaitu agama, masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh karena itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaannya. Secara politis, kehidupan kenegaraan pun didasari pada nilai-nilai yang berasal dari agama. Atas dasar pertimbangan itu, maka nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama. Pancasila, negara kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Pancasila terdapat pada Pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya, dan seni. Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang lebih baik, yaitu warga negara yang memiliki kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara. Budaya, sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antaranggota masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa. Tujuan Pendidikan Nasional, sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki setiap warga negara Indonesia, dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan di berbagai jenjang dan jalur. Tujuan pendidikan nasional memuat berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki warga negara Indonesia. Oleh karena itu, tujuan pendidikan nasional adalah sumber yang paling operasional dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa (Kemendiknas, 2010).
5. Pendidikan Karakter
Berbicara pembentukan kepribadian tidak lepas dengan bagaimana kita membentuk karakter SDM. Pembentukan karakter SDM menjadi vital dan tidak ada pilihan lagi untuk mewujudkan Indonesia baru, yaitu Indonesia yang dapat menghadapi tantangan regional dan global (Muchlas dalam Sairin, 2001: 211). Tantangan regional dan global yang dimaksud adalah bagaimana generasi muda kita tidak sekedar memiliki kemampuan kognitif saja, tapi aspek afektif dan moralitas juga tersentuh. Untuk itu, pendidikan karakter diperlukan untuk mencapai manusia yang memiliki integritas nilai-nilai moral sehingga anak menjadi hormat sesama, jujur dan peduli dengan lingkungan.
Lickona (1992) menjelaskan beberapa alasan perlunya Pendidikan karakter, di antaranya: (1) banyaknya generasi muda saling melukai karena lemahnya kesadaran pada nilai-nilai moral, (2) memberikan nilai-nilai moral pada generasi muda merupakan salah satu fungsi peradaban yang paling utama, (3) peran sekolah sebagai pendidik karakter menjadi semakin penting ketika banyak anak-anak memperoleh sedikit pengajaran moral dari orangtua, masyarakat, atau lembaga keagamaan, (4) masih adanya nilai-nilai moral yang secara universal masih diterima seperti perhatian, kepercayaan, rasa hormat, dan tanggungjawab, (5) demokrasi memiliki kebutuhan khusus untuk pendidikan moral karena demokrasi merupakan peraturan dari, untuk dan oleh masyarakat, (6) tidak ada sesuatu sebagai pendidikan bebas nilai. Sekolah mengajarkan pendidikan bebas nilai. Sekolah mengajarkan nilai-nilai setiap hari melalui desain ataupun tanpa desain, (7) komitmen pada pendidikan karakter penting manakala kita mau dan terus menjadi guru yang baik, dan (8) pendidikan karakter yang efektif membuat sekolah lebih beradab, peduli pada masyarakat, dan mengacu pada performansi akademik yang meningkat.
Alasan-alasan di atas menunjukkan bahwa pendidikan karakter sangat perlu ditanamkan sedini mungkin untuk mengantisipasi persoalan di masa depan yang semakin kompleks seperti semakin rendahnya perhatian dan kepedulian anak terhadap lingkungan sekitar, tidak memiliki tanggungjawab, rendahnya kepercayaan diri, dan lain-lain. Untuk mengetahui lebih jauh tentang apa yang dimaksud dengan pendidikan karakter, Lickona dalam Elkind dan Sweet (2004) menggagas pandangan bahwa pendidikan karakter adalah upaya terencana untuk membantu orang untuk memahami, peduli, dan bertindak atas nilai-nilai etika/ moral. Pendidikan karakter ini mengajarkan kebiasaan berpikir dan berbuat yang membantu orang hidup dan bekerja bersama-sama sebagai keluarga, teman, tetangga, masyarakat, dan bangsa.
Pandangan ini mengilustrasikan bahwa proses pendidikan yang ada di pendidikan formal, non formal dan informal harus mengajarkan peserta didik atau anak untuk saling peduli dan membantu dengan penuh keakraban tanpa diskriminasi karena didasarkan dengan nilai-nilai moral dan persahabatan. Di sini nampak bahwa peran pendidik dan tokoh panutan sangat membantu membentuk karakter peserta didik atau anak.
6. Implementasi Pendidikan Karakter
Upaya untuk mengimplementasikan pendidikan karakter adalah melalui Pendekatan Holistik, yaitu mengintegrasikan perkembangan karakter ke dalam setiap aspek kehidupan sekolah. Ciri-ciri pendekatan holistic (Elkind dan Sweet, 2005) yaitu segala sesuatu di sekolah diatur berdasarkan perkembangan hubungan antara siswa, guru, dan masyarakat; sekolah merupakan masyarakat peserta didik yang peduli di mana ada ikatan yang jelas yang menghubungkan siswa, guru, dan sekolah; pembelajaran emosional dan sosial setara dengan pembelajaran akademik; kerjasama dan kolaborasi di antara siswa menjadi hal yang lebih utama dibandingkan persaingan; nilai-nilai seperti keadilan, rasa hormat, dan kejujuran menjadi bagian pembelajaran sehari-hari baik di dalam maupun di luar kelas; siswa-siswa diberikan banyak kesempatan untuk mempraktekkan prilaku moralnya melalui kegiatan-kegiatan seperti pembelajaran memberikan pelayanan; disiplin dan pengelolaan kelas menjadi fokus dalam memecahkan masalah dibandingkan hadiah dan hukuman dan model pembelajaran yang berpusat pada guru harus ditinggalkan dan beralih ke kelas demokrasi di mana guru dan siswa berkumpul untuk membangun kesatuan, norma, dan memecahkan masalah
Sementara itu peran lembaga pendidikan atau sekolah dalam mengimplementasikan pendidikan karakter mencakup (1) mengumpulkan guru, orangtua dan siswa bersama-sama mengidentifikasi dan mendefinisikan unsur-unsur karakter yang mereka ingin tekankan, (2) memberikan pelatihan bagi guru tentang bagaimana mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam kehidupan dan budaya sekolah, (3) menjalin kerjasama dengan orangtua dan masyarakat agar siswa dapat mendengar bahwa prilaku karakter itu penting untuk keberhasilan di sekolah dan di kehidupannya, dan (4) memberikan kesempatan kepada kepala sekolah, guru, orangtua dan masyarakat untuk menjadi model prilaku sosial dan moral (US Department of Education).
Mengacu pada konsep pendekatan holistik dan dilanjutkan dengan upaya yang dilakukan lembaga pendidikan, kita perlu meyakini bahwa proses pendidikan karakter tersebut harus dilakukan secara berkelanjutan (continually) sehingga nilai-nilai moral yang telah tertanam dalam pribadi anak tidak hanya sampai pada tingkatan pendidikan tertentu atau hanya muncul di lingkungan keluarga atau masyarakat saja. Selain itu praktik-praktik moral yang dibawa anak tidak terkesan bersifat formalitas, namun benar-benar tertanam dalam jiwa anak.
7. Peran Pendidik dalam Membentuk Karakter SDM
Pendidik itu bisa guru, orangtua atau siapa saja, yang penting ia memiliki kepentingan untuk membentuk pribadi peserta didik atau anak. Peran pendidik pada intinya adalah sebagai masyarakat yang belajar dan bermoral. Lickona, Schaps, dan Lewis (2007) serta Azra (2006) menguraikan beberapa pemikiran tentang peran pendidik, di antaranya (1) pendidik perlu terlibat dalam proses pembelajaran, diskusi, dan mengambil inisiatif sebagai upaya membangun pendidikan karakter; (2) pendidik bertanggungjawab untuk menjadi model yang memiliki nilai-nilai moral dan memanfaatkan kesempatan untuk mempengaruhi siswa-siswanya. Artinya pendidik di lingkungan sekolah hendaklah mampu menjadi “uswah hasanah” yang hidup bagi setiap peserta didik. Mereka juga harus terbuka dan siap untuk mendiskusikan dengan peserta didik tentang berbagai nilai-nilai yang baik tersebut; (3) pendidik perlu memberikan pemahaman bahwa karakter siswa tumbuh melalui kerjasama dan berpartisipasi dalam mengambil keputusan; (4) pendidik perlu melakukan refleksi atas masalah moral berupa pertanyaan-pertanyaan rutin untuk memastikan bahwa siswa-siswanya mengalami perkembangan karakter dan (5) pendidik perlu menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada peserta didik secara terus menerus tentang berbagai nilai yang baik dan yang buruk.
Hal-hal lain yang pendidik dapat lakukan dalam implementasi pendidikan karakter (Djalil dan Megawangi, 2006) adalah pendidik perlu menerapkan metode pembelajaran yang melibatkan partisipatif aktif siswa; pendidik perlu menciptakan lingkungan belajar yang kondusif,; pendidik perlu memberikan pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis, dan berkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good, loving the good, and acting the good, dan pendidik perlu memperhatikan keunikan siswa masing-masing dalam menggunakan metode pembelajaran, yaitu menerapkan kurikulum yang melibatkan 9 aspek kecerdasan manusia. Agustian (2007) menambahkan bahwa pendidik perlu melatih dan membentuk karakter anak melalui pengulangan-pengulangan sehingga terjadi internalisasi karakter, misalnya mengajak siswanya melakukan shalat secara konsisten.
Dalam pendidikan formal dan non formal, pendidik harus terlibat dalam proses pembelajaran, yaitu melakukan interaksi dengan siswa dalam mendiskusikan materi pembelajaran; harus menjadi contoh tauladan kepada siswanya dalam berprilaku dan bercakap; harus mampu mendorong siswa aktif dalam pembelajaran melalui penggunaan metode pembelajaran yang variatif; harus mampu mendorong dan membuat perubahan sehingga kepribadian, kemampuan dan keinginan guru dapat menciptakan hubungan yang saling menghormati dan bersahabat dengan siswanya; harus mampu membantu dan mengembangkan emosi dan kepekaan sosial siswa agar siswa menjadi lebih bertakwa, menghargai ciptaan lain, mengembangkan keindahan dan belajar soft skills yang berguna bagi kehidupan siswa selanjutnya, dan harus menunjukkan rasa kecintaan kepada siswa sehingga guru dalam membimbing siswa yang sulit tidak mudah putus asa.
Sementara dalam pendidikan informal seperti keluarga dan lingkungan, pendidik atau orangtua/tokoh masyarakat harus menunjukkan nilai-nilai moralitas bagi anak-anaknya; harus memiliki kedekatan emosional kepada anak dengan menunjukkan rasa kasih saying; harus memberikan lingkungan atau suasana yang kondusif bagi pengembangan karakter anak, dan perlu mengajak anak-anaknya untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah, misalnya dengan beribadah secara rutin. Berangkat dengan upaya-upaya yang pendidik lakukan sebagaimana disebut di atas, diharapkan akan tumbuh dan berkembang karakter kepribadian yang memiliki kemampuan unggul di antaranya karakter mandiri dan unggul, komitmen pada kemandirian dan kebebasan, konflik bukan potensi laten, melainkan situasi monumental dan lokal, signifikansi Bhinneka Tunggal Ika, dan mencegah agar stratifikasi sosial identik dengan perbedaan etnik dan agama (Jalal dan Supriadi, 2001: 49-50).
No comments:
Post a Comment